“Hallo, untuk berapa orang?”
Sapaan itu yang pertama kali menyambutku saat masuk ke sebuah bangunan yang sama sekali tidak mencerminkan itu tempat ngopi. Bangunan itu kecil, berbentuk kotak dengan bagian atas seperti menggunakan gebyok, jendela yang hanya tertutup kain motif, papan bertuliskan 1956.
Di bagian depan hanya ada bangku kecil dengan atap yang tak seberapa lebar untuk melindungi orang yang ada di bawahnya. Samping luar pintu yang minimalis berhiaskan noren terdapat papan tulisan “Open” bersender miring melengkapi tanaman menjalar yang seakan menjadi hiasan.
Sederhana tapi inilah 1956 Mor Solo. And here is the story. My story, actually.
Setono, Kampung Batik Laweyan

KRL menjadi pilihan alat transportasi yang menjadi andalan ketika harus bepergian ke Solo dan Stasiun Purwosari menjadi tujuan akhirnya. Siang itu, kereta tidak terlalu padat dan masih bisa bernafas lega.
30 menit tak terasa hingga sampai Stasiun Purwosari. 1956 Laweyan hanya sekitar 1,7 km saja. Cukup dekat apalagi hari itu cukup mendung. Walau begitu, ojek online tetap jadi pilihan utama saat bepergian di Solo.
Dari kejauhan, nampak bangunan unik. Terkesan tua tapi tak terlalu tua dan modern tapi tak terlalu modern. Sampai di 1956 Mor, kami turun dan memutuskan untuk berjalan-jalan dulu di sekitar situ dengan niat mencari makan. Tak terduga, bagi orang yang buta Solo seperti aku, menemukan gang kecil seperti Setono cukup membuatku tertarik.

Setono layaknya gang kecil penuh harta karun untukku. Di sekitar sini, banyak tempat yang berjualan batik, tempat untuk belajar membantik hingga bangunan lawas yang memanjakan mata. Hampir setiap sudut gang, terdapat pintu hingga dinding tembok yang menarik untuk diabadikan dalam jepretan kamera. Sayangnya, hari itu aku tak membawa kamera dan memori ponselku sudah tak muat banyak.
Niat yang awalnya mencari makan, berubah total karena kami sibuk berkeliling dan mengamati betapa uniknya Kampung Setono ini. Mungkin lain kali, aku perlu membawa kamera dan kembali lagi ke sini. Menyusuri setiap sudut kecil yang dihiasi dengan bangunan lawas.

Puas berkeliling, mendung dan perut yang lapar nan kosong membuat kami harus kembali ke niatan awal, yaitu mencari makan. Wedangan dan semangkok Indomie hangat jadi awal yang pas untuk kami.
Baca juga: Merajut Liburan Impian Bareng Traveloka
1956 Mor Solo, Cafe Autentik dan Eksentrik
Kenyang dan perut yang sudah mendapat ganjalan sebagai persiapan agar tidak kaget saat ngopi, kami akhirnya pergi menuju tempat ngopi.
Jalanan yang cukup sepi, ditambah mendung yang tak sabar untuk menurunkan guyuran hujan sudah menyambut. Dari perempatan jalan, sudah terlihat bangunan unik samping masjid yang punya tulisan yang cukup unik. Kuat dilakoni, ra kuat sholawati (kuat dijalani, tidak kuat disholawati)

Saat berjalan ke arah 1956 Mor Solo, ada bapak-bapak tanya, kami mau ke mana?
Ternyata, tempat ini memang hidden gem yang sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Awalnya aku sanksi, “Tempat sekecil ini, muat berapa orang? Kenapa sepi sekali?”
Lalu, 1 hal yang aku pahami, 1956 beda dari yang lain. Mulai dari bangunannya, konsepnya hingga papan nama yang hanya sebatas kayu tua bertuliskan 1956. Yup, hanya kayu… dan sudah tua. Tidak ada embel-embel tulisan cafe seperti yang sering aku temui. Tidak ada lampu gemerlap di luar bangunan. Sangat eksentrik.

Menengok sebentar ke dalam ruangan, membuatku agak ragu karena sepi. Benar-benar sepi dan hanya ada barista, lampu kuning keemasan, potongan kain dengan motif dan tulisan tangan.
Saat masuk, di sana hanya ada 3 kursi untuk meja barista, dan 6 meja lesehan. Bisa terbayang kan, masuk ruangan, rada gelap, kipas, cermin di pojok dan lesehan. Konsep ngopi wedangan sekali.
“Hallo, untuk berapa orang?” sapa baristanya begitu aku masuk. Mas Barista itu bertubuh tinggi, kurus, mata sayu, kacamata bulat dan tebal, rambut keriting dan kalau kata temenku kayak Ari Lesmana (Fourtwnty) dan bermasker.
“2 orang,” jawabku yang kemudian duduk di kursi depan meja barista.
Lalu, barista hanya menanyakan apakah sudah pernah ke 1956 atau belum, ingin minuman panas atau dingin dan menjelaskan kalau hanya tersisa 3 jenis kopi saja. Bali, mekarsari dan colombia. Maklum sih, karena menurut informasi yang aku dapat, tempat ini akan tutup per tanggal 29 Januari 2023.
Aku langsung tanya, “Yang tidak terlalu kuat yang mana mas?”
Bali adalah pilihanku. Pada awalnya sebelum aku memilih untuk mencoba mekarsari yang fruty.
Kesanku pada baristanya adalah unik. Ya mana ada orang yang baru ketemu terus bilang, “Mbak, kok koe cerewet sih? (Mbak, kok kamu cerewet sih?)”
Sungguh, masnya ini kayak teman sendiri!
Karena untuk 2 orang, masnya yang kemudian aku tahu namanya mas Don (lho, aku wes reti jenengmu Mas hahaha), menyiapkan 2 timbangan untuk 2 porsi kopi sesuai pesanan kami.
Selama proses pembuatan, Mas Don sesekali mengajak bercerita dan bertanya. Mulai dari asal hingga kopi lokal mana yang rekomended. Sesekali, guyonan khas teman lama muncul sampai aku pun tak sadar kalau aku pakai bahasa Jawa ngoko.
Sistem private service yang melayani pembeli secara langsung, membiarkan pembeli melihat proses pembuatan kopi (yang ternyata jika dibuat oleh ahlinya terlihat lebih intim) dan ngobrol layaknya teman sendiri membuatku betah.
Jangan salah paham, ini pertama kalinya aku melihat orang menyeduh kopi sehikmat ini. Mulai dari memilih dan mengecek kopi, mengukur, menghaluskan biji kopi, membiarkan kami mencium aroma kopi yang nagih, brewing, mengecek baunya apakah kopi sudah pas hingga menyuguhkan kopi di hadapan pembeli.
Oh ya, di 1956 Laweyan tidak ada buku menu. Kamu bisa memilih menu sesuai yang ada di papan atau tanya langsung ke Mas Don.

Untuk rasanya, jangan ditanya. Pas banget di lidah.
Lantai 2, Curahan Hati dan Sudut Pandang
1956 Mor Solo punya 2 lantai. Lantai utama dan lantai atas yang tak biasa.
Untuk naik ke lantai 2, ada tangga dari kayu yang tidak seberapa tingginya tapi membuatku cukup kerepotan. Rok besar, 2 gelas, tas. Apa yang kamu harapkan dari kombinasi itu semua? Kemudahan? Hahahahaha.
Perjuangan agak ekstra tanpa menjatuhkan gelas atau membuatku tergelundung dari tangga membuahkan hasil. Akhirnya, aku melihat lantai 2 1956.
Ruangan ini berbeda 180 derajat dengan ruangan bawah. Kamu hanya akan menemui lantai kayu, lembaran kain dengan quote cukup nyeleneh dan masuk akal, selembar tikar, sebuah meja dan jendela kecil.

Kondisi hujan, segelas kopi dan buku Laut Bercerita membuatku larut. Sesekali kami bercerita serius tapi terkadang random dengan pertanyaan, “Kayaknya martabak enak deh!”
Lantai 2 ini membuatku berpikir tentang banyak hal. Satu-satu mulai mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda dan bagaimana tulisan di situ cukup menyadarkanku.

“Why i’m not worth it? Why i’m so worth it?“
Klise tapi bukankah ini jadi 1 hal yang harus kita tahu?
Materi dan penghargaan yang terkadang diberikan pada orang yang salah. Namun, ya sudahlah. Itulah hidup!
Back to coffee!
Waktu yang cukup singkat, apalagi waktu buka kafe ini cukup singkat, yaitu pukul 17:56 dan kopi yang nikmat seakan cukup untuk menjadi pelarian yang singkat.
Sudah saatnya kembali lagi ke realita.
Sekedar Tips dan Info Sebelum ke 1956 Mor

Kalau kamu mau ke 1956 Mor, ada beberapa info dan tips yang semoga bisa membantu kamu, di antaranya:
- Harga kopi sekitar Rp25.000. Cukup terjangkau dengan cita rasa yang enak dan tempat eksentrik.
- Ada qris. Jadi, cukup aman kalau kamu lupa bawa uang cash.
- Tempat kecil dan kalau kamu mau bawa rombongan ke sini, better bikin reservasi via DM instagram.
- Selalu buka Instagram 1956 Mor untuk tahu jam operasionalnya.
- Kalau mau foto-foto, pakai baju dengan tone netral. Biar kesan jadul dan ‘bumi’-nya lebih kelihatan.
- Selalu tanyakan menu yang tersedia.
- Jangan ragu buat tanya-tanya ke Mas Don atau ngobrol.
- Parkir terbatas.
Sebelumnya, memang 1956 bakalan tutup tapi kemudian karena satu dan lain hal, 1956 libur per 29 Januari 2023 hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Aku harap 1956 Mor Solo bakal buka dalam waktu yang lama karena aku masih pengen ngobrol dan tanya, kenapa sih 1956? Kenapa enggak 1901 atau tahun berapa gitu? But, sampai jumpa lagi di kunjungan selanjutnya. Semoga ada kopi lain yang perlu aku coba.
Titilaras Solo: Antara Teh, Hidup dan Hati yang Selaras - Elang Cahaya Senja
[…] 1956 Mor Solo: Laweyan, Kopi, Story dan Pelarian […]